Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan dikeluarkannya maklumat
pemerintahanSoekarno tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1
September 1945 bendera nasional Sang Merah Putih dikibarkan terus di seluruh
wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap
pelosok kota Surabaya.
Di berbagai tempat strategis dan tempat-tempat lainnya bendera Indonesia
dikibarkan. Antara lain di teras atas Gedung Kantor Karesidenan (kantor Syucokan,
gedung Gubernuran sekarang, Jalan Pahlawan) yang terletak di muka gedung
Kempeitai (sekarang Tugu Pahlawan), di atas Gedung Internatio, disusul barisan
pemuda dari segala penjuru Surabaya yang membawa bendera Indonesia datang ke
Tambaksari (lapangan Stadion Gelora 10 November) untuk menghadiri rapat raksasa
yang diselenggarakan oleh Barisan Pemuda Surabaya.
Saat rapat tersebut lapangan Tambaksari penuh lambaian bendera merah putih
disertai pekik 'Merdeka' yang diteriakkan massa. Pihak Kempeitai telah melarang
diadakannya rapat tersebut tidak dapat menghentikan dan membubarkan massa
rakyat Surabaya tersebut. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya
kemudian terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato
atau Oranje Hotel (sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65
Surabaya.
Kedatangan
tentara Inggris dan Belanda dalam AFNEI
Mula-mula Jepang dan Indo-Belanda yang sudah keluar dari interniran
menyusun suatu organisasi, Komite Kontak Sosial, yang mendapat bantuan penuh
dari Jepang. Terbentuknya komite ini disponsori oleh Palang Merah Internasional
(Intercross). Namun, berlindung dibalik Intercross mereka melakukan kegiatan
politik. Mereka mencoba mengambil alih gudang-gudang dan beberapa tempat telah mereka
duduki, seperti Hotel Yamato. Pada 18 September 1945, datanglah di Surabaya
(Gunungsari) opsir-opsir Sekutu dan Belanda dari AFNEI (Allied Forces
Netherlands East Indies) bersama-sama dengan rombongan Intercross dari Jakarta.
Rombongan Sekutu tersebut oleh administrasi Jepang di Surabaya ditempatkan di
Hotel Yamato, Jl Tunjungan 65, sedangkan rombongan Intercross di Gedung Setan,
Jl Tunjungan 80 Surabaya, tanpa seijin Pemerintah Karesidenan Surabaya. Dan
sejak itu Hotel Yamato dijadikan markas RAPWI (Rehabilitation of Allied
Prisoners of War and Internees: Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang dan
Interniran).
Pengibaran
bendera Belanda
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari
tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda
(Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang
pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para
pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda
telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di
Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang
berlangsung di Surabaya.
Kabar tersebut tersebar cepat di seluruh kota Surabaya, dan Jl. Tunjungan dalam
tempo singkat dibanjiri oleh massa yang marah. Massa terus mengalir hingga
memadati halaman hotel serta halaman gedung yang berdampingan penuh massa yang
diwarnai amarah. Di sisi agak belakang halaman hotel, beberapa tentara Jepang
berjaga-jaga untuk mengendalikan situasi tak stabil tersebut.
Gagalnya
perundingan Sudirman dan Ploegman
Tak lama setelah mengumpulnya massa tersebut, Residen Sudirman, pejuang
dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco
Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus
sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa
lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI
dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera
Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini
Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui
kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan
pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas
dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang
berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Sudirman dan
Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato.
Perobekan
bendera Belanda
Di luar hotel, para pemuda yang mengetahui berantakannya perundingan
tersebut langsung mendobrak masuk ke Hotel Yamato dan terjadilah perkelahian di
lobi hotel. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera
Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman kembali ke dalam hotel dan
terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersamaKusno Wibowo berhasil
menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak
tiang kembali. Peristiwa ini disambut oleh massa di bawah hotel dengan pekik
'Merdeka' berulang kali.
Peran
peristiwa dalam Perang Kemerdekaan Indonesia
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945
meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara AFNEI.
Serangan-serangan kecil itu ternyata dikemudian hari berubah menjadi serangan
umum yang memakan banyak korban baik di militerIndonesia dan Inggris maupun
sipil di pihak Indonesia. Akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan
Presiden Sukarno untuk meredakan situasi dan mengadakan gencatan senjata.
Gencatan senjata tersebut gagal dan ditambah dengan matinya Brigadir
JenderalMallaby, berakibat pada dikeluarkannya ultimatum 10 November oleh pihak
Inggris dan terjadinya Pertempuran 10 November yang terbesar dan terberat dalam
sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia dan ditetapkan menjadi Hari Pahlawan.
Kedatangan
Tentara Jepang ke Indonesia
Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari
kemudian tanggal 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa
syarat kepada Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tanpa
syarat tesebut, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang.
Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah
dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki.
Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing
tersebut, Soekarno kemudian memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945.
Kematian
Brigadir Jenderal Mallaby
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris
ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda.
Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat
dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya
tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara
Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil
Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok
milisi Indonesia ketika akan melewatiJembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan
terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal
Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak
diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan
granatyang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini
menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada
keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk
mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan
persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi
NICA.
Ultimatum 10
November 1945
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal
Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan
dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di
tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas.
Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan
rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum
tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia
waktu itu sudah berdiri, danTentara Keamanan Rakyat (TKR) juga telah dibentuk
sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata
yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan
pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi
kehadiran tentara Inggris di Indonesia.
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala
besar, yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan
Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat
terbang, tank, dan kapal perang.
No comments:
Post a Comment